Mengenal Sisi Lain Bekasi Lewat Muara Gembong
Ada satu pertanyaan yang paling saya hindari ketika traveling ke suatu tempat dan bertemu dengan orang baru. Yaitu pertanyaan, "Asalnya dari mana, Mbak?"
Bukan saya tak bangga dengan kota yang tertulis di Kartu Tanda Penduduk
sekaligus Akta Kelahiran ini. Namun biasanya ketika saya menjawab Kota
Bekasi sebagai tempat saya berasal, Si Penanya justru akan bertanya lagi
dengan tatapan heran, "Bekasi? Di mana?"
Maka saya akan menghela napas panjang sambil menjawab pelan, "Dekat Jakarta."
Kalau sudah begitu, saya akan menghindari pertanyaan seputar makanan
khas Bekasi dan tempat wisatanya. Tetapi, semakin sering saya traveling,
semakin sering pula pertanyaan itu terlontar dan mengacak-acak isi
kepala. Dua puluh tahun saya tinggal di Bekasi, masa iya tidak tahu
apa-apa selain mall dan cluster yang kian marak dibangun dan memadati
kota?
Wilayah Bekasi terbagi menjadi dua, yaitu Kota dan Kabupaten. Letaknya di antara Karawang dan Jakarta dengan aliran sungai Kalimalang
yang melintang dan menjadi sumber air utama. Bekasi juga dikenal
sebagai Kota Patriot karena dulunya merupakan tempat berjuang para
patriot pembela tanah air. Mayoritas penduduk Kota Bekasi yaitu Betawi
dan Sunda, sementara saya termasuk ke dalam suku Jawa. Maklum,
pendatang. Oleh karena itu, jika ditanya apa makanan khas dari Bekasi,
sudah tentu saya tidak bisa menjawab apapun. Tapi kalau ditanya tempat
wisata di Bekasi? Hmm.. Belum. Saya belum bisa menjawabnya. Bagi saya,
Bekasi adalah tempat yang cocok untuk wisata belanja dan kuliner, hal
ini dikarenakan banyaknya mall dan rumah makan yang telah/sedang
dibangun.
Bekasi juga cocok untuk wisata sabar, karena cuacanya yang panas, sering
banjir, macet, sekaligus sebagai tempat pembuangan sampah (iya,
Bantargebang masih bagian dari Bekasi). Bekasi juga tidak memiliki
Universitas Negeri, padahal wilayahnya lumayan besar dan cukup
produktif. Dan yang paling menyedihkan, ketika mencari destinasi wisata
Bekasi di website resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Republik Indonesia (www.indonesia.travel/id) jawabannya seperti ini...
no data that matches with keyword you enter : bekasi |
Dear, Pak Menteri.
Jawa Barat tak hanya sekedar Bandung dan Bogor, Pak.
Bekasi juga bagian di dalamnya.
Walau tak ada destinasi wisata, namun potensi daerah Bekasi cukup tinggi, Pak.
Bagaimana kalau kita eksplor satu saja tempat keren di Bekasi?
Mari kita mulai perjalanan dari bagian Bekasi paling tak terurus.
Paling terpencil, paling tertinggal, paling sulit dijangkau.
Paling sering banjir dan paling ujung.
Muara Gembong.
Menurut wikipedia, Muara Gembong merupakan kecamatan paling ujung di wilayah Kabupaten Bekasi. Lokasinya berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Teluk Jakarta di sebelah barat, Kabupatan Karawang di sebelah timur dan Kecamatan Babelan di sebelah selatan. Membayangkan betapa jauhnya tempat ini sudah membuat kening saya berkerut duluan.
Namun sebagai persembahan tanda cinta kepada kota yang membesarkan saya selama 20 tahun, sekaligus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar Bekasi, saya rela mencari sejarah nenek moyang hingga ke pelosok dan membuktikannya kepada orang-orang bahwa; Bekasi ini indah, kawan.
Bersama seorang teman, kami memulai perjalanan dari Alun-alun Kota
Bekasi dengan menggunakan sepeda motor dan mengambil arah ke Babelan.
Sepanjang jalan, kami disuguhi asap knalpot kendaraan besar dan
debu-debu bertebaran. Ada baiknya mengenakan masker dan kacamata walau
kepala telah dilindungi helm.
"Jalanan kecil gini kok banyak truk sama bus, sih?" Saya mulai protes.
"Iya, di ujung sana ada proyek." Ujar teman saya sambil menunjuk. Saya
yang diberitahu hanya melengos dan menutup kaca helm. Perjalanan menuju
Muara Gembong benar-benar perjuangan. Kami menghabiskan waktu selama dua
jam duduk di motor, sampai akhirnya menemukan pertigaan dengan papan
penunjuk jalan menuju lokasi tujuan.
Setelahnya kami harus melintasi proyek Pertamina yang terbentang luas di
antara setapak jalan gersang dengan tekstur tanah bercampur debu.
Kondisi jalan seperti ini mengingatkan saya pada salah satu pabrik
tambang terbesar di Palembang (klik: link ini). Begitulah area tambang, penghasilannya subur nan makmur, namun sekitarnya kekeringan.
Kata teman, ini lebih cocok disebut jalur T-Rex. |
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya bila ban kendaraan yang kami pakai, bocor atau pecah di sepanjang jalan ini. Karena se-penglihatan saya, tidak ada tanda-tanda jasa tambal ban terpampang di bahu jalan. Jangankan tukang tambal ban, warung kecil dan rumah warga saja jarang.
Lalu, apa yang orang-orang lakukan di sini? Biasanya orang-orang dari
luar daerah datang untuk memancing atau memborong ikan. Sebagian besar
mata pencaharian warga Muara Gembong adalah nelayan. Mereka menjaring
ikan atau menangkap kepiting dan udang untuk dijual ke pusat perikanan
seperti Ancol, Cilincing dan Muara Angke.
Foto ini saya beri judul; "Menjaring Awan" |
"Dulunya, di sini kawasan Hutan Bakau dan habitat Lutung Jawa. Tapi penduduknya serakah dan mulai menebang hutan untuk dijadikan tambak ikan. Awalnya sih, panen ikan melimpah. Tapi lama-kelamaan tambak mulai terkena abrasi akibat penggundulan hutan bakau sebelumnya. Daerah ini jadi sering banjir, bahkan jalanan gersang yang kita lewati ini kalau lagi musim hujan bukan cuma becek, tapi jadi lumpur." Ujar teman saya, menjelaskan. Saya hanya mengangguk-angguk sambil terus memotret.
Saya bersyukur, pada saat ke sini, hujan tidak turun. Langit Muara Gembong begitu cerah. Biru, kontras dengan putihnya awan. Sementara langit di Bekasi biasanya hanya biru muda, bahkan seringkali saya lihat hanya abu-abu, menggambarkan polusi yang berlebihan. Walau gersang, di sini saya menemukan kedamaian. Tak ada suara klakson dan kemacetan, tak ada hiruk pikuk kota metropolitan yang identik dengan mall dan cluster. Di sini hanya ada warna-warna alam yang saling berpaduan. Biru, hijau, cokelat dan putih.
The Young Mangrove |
Sepeda Motor yang kami tumpangi berhenti di area parkir Kecamatan Muara Gembong. Setelah itu kami berjalan ke arah Dermaga tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Kami menumpang kapal nelayan sampai ke Dermaga Perempatan. Tujuan pertama kami adalah ke SDN Pantai Bahagia 04, sekolah yang kondisinya paling memprihatinkan apabila air laut kembali pasang.
"Ini namanya Sungai Citarum. Sebenarnya dulu Desa-desa di sini menyatu.
Tapi karena dampak abrasi pantai, jadi banjir kayak gini. Akses antar
desa putus dan harus nyeberang pakai perahu."
"Pihak Pertamina nggak kasih bantuan? Pemerintah setempat, gimana?" Tanya saya kritis.
"Kurang
tahu, deh. Akses ke sini aja susah. Gimana mau kasih bantuan? Paling
teman-teman dari komunitas tertentu aja yang sering bantu-bantu ke sini.
Ada yang bikin Taman Belajar buat anak-anak yang sekolahnya sering
kebanjiran, ada yang bikin gerakan Menanam Pohon Bakau buat ngurangin
dampak abrasi, ada juga yang gembar-gembor tentang Save Lutung
Jawa. Soalnya akhir-akhir ini banyak tangan nggak bertanggung jawab yang
jual beli Lutung Jawa. Entah buat apa." Saya mengangguk-angguk sambil
membayangkan betapa kecamatan kecil ini memiliki potensi wisata yang
cukup menjanjikan. Hanya saja kesadaran masyarakat masih minim sekali.
Perjalanan untuk mencapai Dermaga Perempatan dari Dermaga awal hanya berkisar 20 - 30 menit. Dari Dermaga Perempatan, kami masih harus berjalan kaki ke SDN Pantai Bahagia 04. Saat itu Taman Belajar yang dirintis oleh Kak Nindy Elviana sedang libur. Tapi ada kegiatan sosial lain yang sedang berlangsung tepat di Muara Gembong, yaitu "Gerakan Tanam Mangrove Sekarang" oleh beberapa komunitas pegiat alam di Bekasi.
Tepat ketika acara tanam mangrove (pohon bakau) selesai, kami baru tiba di lokasi. Sayang sekali, kami tidak bisa merasakan sensasi menanam pohon di pinggir laut. Namun kami diperbolehkan mengikuti rombongan untuk berkunjung ke Habitat Lutung Jawa.
Dari lokasi penanaman pohon bakau, lagi-lagi kami harus menaiki perahu untuk bisa sampai di habitat Lutung Jawa. Jarak tempuhnya berkisar antara 30 - 45 menit. Sepanjang jalan, para nelayan menyandarkan perahunya di pinggir sungai. Ada yang masih menjaring ikan, ada pula yang sedang berjualan.
Hari semakin sore, namun tak menyurutkan semangat pemuda-pemudi Bekasi untuk tahu lebih jauh tentang potensi sumber daya alam dan buatan di tempat tinggalnya sendiri. Semua mulai berpikir, apa yang harus dilakukan untuk terus mempertahankan daerah ini? Kecamatan Muara Gembong telah kehilangan 3 desa akibat abrasi, ditambah lagi habitat asli Lutung Jawa yang hampir punah. Pendidikan di daerah ini pun masih tergolong minim. Dan akses menuju ke sini, sungguh sulit sekali.
Bagaimana melestarikan ini semua? Bagaimana menjadikan Muara Gembong sebagai destinasi wisata? Agar mata pencaharian warga tak lagi hanya sekedar nelayan, tapi juga bisa menjadi guide, menyediakan jasa travel tour, penginapan, rumah makan, dan lain lain. Agar Muara Gembong bisa muncul di koran atau layar televisi dengan berita yang lain dari biasanya. Tidak melulu muncul sebagai berita dengan headline banjir atau daerah kumuh di ujung Bekasi. Bukan itu yang kami mau.
Gerombolan binatang dengan bulu hitam berekor panjang membuyarkan lamunan saya. Mereka melompat kesana kemari, seolah mengejek kami yang masih terapung di atas perahu, terombang-ambing di aliran Sungai Citarum. Sayang, lensa kamera tidak dapat merekam apa yang dilihat oleh lensa mata. Inilah habitat Lutung Jawa yang hampir punah.
Perjalanan untuk mencapai Dermaga Perempatan dari Dermaga awal hanya berkisar 20 - 30 menit. Dari Dermaga Perempatan, kami masih harus berjalan kaki ke SDN Pantai Bahagia 04. Saat itu Taman Belajar yang dirintis oleh Kak Nindy Elviana sedang libur. Tapi ada kegiatan sosial lain yang sedang berlangsung tepat di Muara Gembong, yaitu "Gerakan Tanam Mangrove Sekarang" oleh beberapa komunitas pegiat alam di Bekasi.
Tepat ketika acara tanam mangrove (pohon bakau) selesai, kami baru tiba di lokasi. Sayang sekali, kami tidak bisa merasakan sensasi menanam pohon di pinggir laut. Namun kami diperbolehkan mengikuti rombongan untuk berkunjung ke Habitat Lutung Jawa.
Bekasi masih punya sawah, lho. |
SDN Pantai Bahagia 04 |
Lokasi penanaman pohon bakaunya di sekitar sini |
Dari lokasi penanaman pohon bakau, lagi-lagi kami harus menaiki perahu untuk bisa sampai di habitat Lutung Jawa. Jarak tempuhnya berkisar antara 30 - 45 menit. Sepanjang jalan, para nelayan menyandarkan perahunya di pinggir sungai. Ada yang masih menjaring ikan, ada pula yang sedang berjualan.
Hari semakin sore, namun tak menyurutkan semangat pemuda-pemudi Bekasi untuk tahu lebih jauh tentang potensi sumber daya alam dan buatan di tempat tinggalnya sendiri. Semua mulai berpikir, apa yang harus dilakukan untuk terus mempertahankan daerah ini? Kecamatan Muara Gembong telah kehilangan 3 desa akibat abrasi, ditambah lagi habitat asli Lutung Jawa yang hampir punah. Pendidikan di daerah ini pun masih tergolong minim. Dan akses menuju ke sini, sungguh sulit sekali.
Bagaimana melestarikan ini semua? Bagaimana menjadikan Muara Gembong sebagai destinasi wisata? Agar mata pencaharian warga tak lagi hanya sekedar nelayan, tapi juga bisa menjadi guide, menyediakan jasa travel tour, penginapan, rumah makan, dan lain lain. Agar Muara Gembong bisa muncul di koran atau layar televisi dengan berita yang lain dari biasanya. Tidak melulu muncul sebagai berita dengan headline banjir atau daerah kumuh di ujung Bekasi. Bukan itu yang kami mau.
Gerombolan binatang dengan bulu hitam berekor panjang membuyarkan lamunan saya. Mereka melompat kesana kemari, seolah mengejek kami yang masih terapung di atas perahu, terombang-ambing di aliran Sungai Citarum. Sayang, lensa kamera tidak dapat merekam apa yang dilihat oleh lensa mata. Inilah habitat Lutung Jawa yang hampir punah.
Jembatannya ngeri, ya? Iya ._. |
Mencari 'spot' Lutung Jawa |
Here we are |
Kelihatan nggak, latar belakangnya? |
Inilah mereka, si hitam berekor panjang :) |
Puas bercengkrama dengan nenek moyang, akhirnya kami kembali
menyeberangi aliran sungai Citarum dalam kondisi hari yang sudah gelap.
Bintang-bintang bertaburan di atas kepala saya, sesuatu yang biasanya
saya lihat di gunung, satu hal yang sangat jarang bisa saya lihat di
langit kota saya sendiri. Tapi disini, saya bisa melihat gemerlap
bintang dengan sangat jelas.
Sepanjang perjalanan pulang, ide-ide untuk mempromosikan Muara Gembong
melompat-lompat di dalam kepala. Kembali ke pertanyaan; "Bagaimana
melestarikan ini semua?"
- Yang paling utama, tingkatkan rasa cinta kepada daerah sendiri. Jangan terus-menerus mengeluh kalau Bekasi nggak punya apa-apa, tapi carilah apa yang Bekasi miliki, eksplor dan kenali lebih jauh
- Berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang rutin diselenggarakan oleh @muaragembongku @BGreenAttack @B_Summiter dan akun pegiat alam Bekasi lainnya
- Ikut gerakan Tanam Mangrove dan Save Lutung Jawa
- Menjadi donatur, volunteer atau tenaga didik di Taman Belajar Muara Gembong (akun twitter: @TALAGO2014)
- Menuliskan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di Muara Gembong di media sosial seperti Facebook dan twitter, hal ini bertujuan untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya, apalagi kalau jadi trending topic
- Mempublikasikan foto-foto kegiatan dan panorama alam Muara Gembong di Path dan Instagram, pasti teman-teman kamu penasaran ingin kesana. Seperti halnya kamu yang ngebet kesana setelah baca postingan saya, ya kan? :D
- Merangkum perjalanan dan kegiatan dalam sebuah postingan menarik di blog
- Share postingan kamu ke twitter dengan mention ke @Warung_Blogger atau ke grup Facebooknya. Karena Warung Blogger sangat berfungsi untuk menaikkan jumlah pembaca
- Mengajak teman-teman untuk bergabung dalam kegiatan yang telah kamu lakukan di Muara Gembong
- Terus berdoa agar tulisan kamu disorot oleh Pemerintah setempat, termasuk Kemenkominfo. Syukur-syukur diteruskan ke Kemenparekraf dan diadakan penindaklanjutan
Sebagai blogger, gunakan fungsi internet semaksimal mungkin untuk media promosi. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menaikkan potensi daerah yang juga tempat tinggal saya, Bekasi. Btw, udah nggak bingung lagi kan, kalau ditanya tempat ngebolang yang asik di Bekasi? Jawab aja Muara Gembong! :)
Bekasi ini indah, Kawan! |
Senyum :) |
Comments
Post a Comment